Selasa, 28 Agustus 2012

Ulama Pewaris Para Nabi


Agama adalah suatu yang sakral dalam kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus. Karena agama diyakini sebagai suatu ajaran wahyu dari sang Pencipta. Keberadaan agama ditengah-tengah umat ibarat sang penyelamat dari berbagai malapetaka. Segala kerusakan dan kehancuran di muka bumi tak lain dan tak bukan adalah akibat ulah tangan kotor para musuh dan perusak agama.

Islam adalah satu-satunya agama yang benar yang sangat diharapkan kehadirannya untuk melanggengkan kehidupan di alam ini. Tanpa Islam rasanya sulit bagi manusia untuk lepas dari berbagai angkara murka yang terdapat pada gelombang kehidupan yang tak kenal belas kasih.
Keterikatan antara Islam dan ulama sangatlah erat. Perkembangan dan kemajuan Islam masa lampau tak lepas dari peran ulama. Di abad modern ini sosok-sosok ulama yang konsisten dengan agamanya sangat di butuhkan, dalam upaya mengembalikan kaum muslimin ke masa keemasannya. Yang dimaksud dengan ulama dalam konsep Islam yang benar adalah seseorang yang menguasai disiplin-disiplin ilmu Islam secara utuh mulai dari ilmu alat (bahasa, sastra, dll) sampai ilmu pelengkap lalu menerapkan dalam kepribadian, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Al-Imam Abu Qasim Al-Ashbahani pernah menyinggung tentang hal ini. Beliau mengatakan : “ Ulama Salaf menegaskan: Seseorang tidak dinyatakan sebagai Imam dalam agama Islam sampai dia memiliki beberapa hal sebagai berikut :
v  Hapal berbagai bidang ilmu bahasa arab beserta perselisihannya.
v  Hapal beraneka ragam perselisihan para fuqaha dan para ulama.
v  Berilmu, paham dan hapal tentang i’irab (harakat akhir kata untuk menentukan kedudukan kata tersebut pada kalimat bahasa arab, pent.) dan perselisihannya.
v  Berilmu tentang Kitabullah (Al-Qur’an) yang mencakup variasi bacaan beserta perselisihan para ulama tentangnya, tafsir ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, nasikh mansukh dan kisah-kisah yang tertera didalamnya.
v  Berilmu tentang hadist-hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkemampuan untuk membedakan shahih dan dlaif(lemah), bersambung atau terputus (sanadnya), mursal daan musnadnya, masyhur dan gharibnya.
v  Berilmu tentang atsar-atsar sahabat.
v  Wara’.
v  Memelihara muru’ah (kehormatan diri).
v  Jujur.
v  Terpercaya.
v  Melandasi agamanya dengan Al-Quran dan Sunah

Apabila seseorang telah berhasil mengaplikasikan poin-poin diatas pada dirinya, maka ia boleh menjadi imam dalam madzhab serta berijtihad bahkan menjadi sandaran dalam agama dan fatwa. Lalu apabila dia gagal, tidak boleh baginya menjadi imam dalam madzhab dan panutan dalam berfatwa….” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah hal 306-307, cetakan Dar Rayah)
Para ulama memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Mereka adalah pewaris para nabi untuk mengemban misi dakwah Islam kepada segenap manusia. Baik dan buruknya suatu generasi, suatu kaum, suatu bangsa, suatu negeri, atau suatu lapisan masyarakat tergantung sejauh mana para ulama menjalankan perannya sebagai pelanjut dakwah para Nabi di jagat raya ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadist :
 “…. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan uang dinar dan tidak pula uang dirham. Hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mewarisinya, berarti dia telah mendapatkan keuntungan yang sempurna. “
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)1
            Keberadaan ulama pewaris para nabi di muka bumi merupakan rahmat bagi seluruh anak Adam. Karena tanpa mereka niscaya kehidupan manusia di seluruh alam ini tak jauh beda dengan kehidupan binatang. Bukankah kehidupan binatang hanya bertumpu pada pemuasan syahwat perut dan kemaluan tanpa pernah kenal syariat ? Maka demikianlah kehidupan anak cucu Adam, kalau tidak ada ulama pewaris Nabi yang mengenalkan syariat kepada mereka sepeninggal Nabi dan Rasul utusan Allah.
Al-Hasan Al-Bashri pernah menegaskan hal ini dalam sebuah nasehatnya, beliau berkata: “Kalau tidak ada ulama niscaya manusia seperti binatang.”(Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal. 15, cetakan Maktabah Dar Bayan)

SAHAM ULAMA PEWARIS NABI UNTUK ISLAM
            Begitu pentingnya peran ulama pewaris nabi dalam mengemban misi dakwah Islam, tentu banyak pula saham yang telah mereka berikan untuk keberlangsungan Islam. Untuk mengetahui bentuk saham tersebut alangkah baiknya kita menyimak ucapan Syaikh Tsaqil bin Shalfiq Al-Qashimi tentang mereka. Beliau menjelaskan: “Mereka (ulama pewaris Nabi), adalah orang-orang yang mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain untuk mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mencatatnya dalam lembaran-lembaran dengan metode yang bermacam-macam seperti (karya tulis berbentuk) musnad2, majma’3, mushannaf4, sunan5, muwaththa’6, az-zawaid7 dan mu’jam8.


1.      Hadits ini di riwayatkan oleh Abu Dawud(3641.3642), At-Turmudzi(2682), Ahmad(5/196), Ibnu Majah(223), Ad-Darimi(1/98), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ul Ulum wal Hikam 1/39, Khatib Al-Baghdadi dalam kitab Tarikhnya (1/398). Hadits ini hasan. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari (1/160) menukil kepastian penghasanannya dari Hamzah Al-Kinani. Lihat penjelasan ini dalam buku Al-ilmu fadluhu wa Syarafuhu karya Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid hal.57. cetakan Majmu’at Tuhafin Nafais Ad-Dauliyah, tahun 1416H(1996M)
2.     Musnad: Buku-buku hadits yang dikarang dengan bersandar kepada nama-nama shahabat di mana pengarang mengumpulkan hadits-hadits setiap shahabat dalam batasan tertentu.(Ushulut Takhrij, Mahmud Thanan, hal.40. cetakan Maktabatul Ma’arif, Riyadl)
3.     Majma’: Buku-buku hadits yang dikarang dengan mengumpulkan hadits-hadits dari beberapa karya tulis lalu disusun menurut susunan beberapa karya tulis yang dikumpulkan padanya.(Ushulut Takhrij, hal.103)
4.     Mushanaf: Buku-buku hadits yang disusun menurut bab-bab fiqh. Buku-buku hadits jenis ini bermuatan hadits-hadits Nabi, ucapan-ucapan shahabat, fatwa-fatwa tabi’in dan terkadang fatwa-fatwa at-tabi’ut tabi’in.(Ushulut Takhrij, hal.118)
5.     Sunan: Buku-buku hadits yang disusun menurut bab-bab fiqh dan hanya mencakup hadits-hadits yang sampai sanadnya kepada Nabi(hadits marfu’).(Ushulut Takhrij, hal.115)
6.     Muwaththa’: Buku-buku hadits yang dikarang menurut bab-bab fiqh. Buku hadits jenis ini berisi hadits-hadits marfu’(hadits-hadits yang sampai sanadnya kepada Nabi), hadits mauquf (hadits-hadits yang sanadnya hanya sampai kepada shahabat dan tidak sampai kepada Nabi), dan hadits maqthu’ (hadits-hadits yang sanadnya hanya sampai pada tabi’in atau orang yang di bawahnya). Gaya penyusunan kitab-kitab muwatha’ sangat mirip dengan gaya penyusunan kitab-kitab mushanaf. (Ushulut Takhrij hal.119)
7.     Az-Zawaid: Buku-buku hadits yang mengumpulkan tambahan yang termaktub pada sebagian kitab hadits terhadap hadits-hadits yang tertera didalam kitab-kitab hadits yang lainnya. (Ushulut Takhrij hal.104)
8.     Mu’jam: Buku-buku hadits yang memuat hadits-hadits menurut urutan shahabat, para syaikh, negeri-negeri atau yang selainnya. Mayoritas buku-buku hadits jenis ini menyusun urutan nama-nama yang ada padanya menurut urutan huruf-huruf mu’jam.(Ushulut Takhrij hal.45)







Mereka menjaga hadits-hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemalsuan dan tadlis9Mereka membedakan antara hadits-hadits shahih dari yang lemah. Oleh sebab itu mereka membuat kaidah-kaidah hadits yang mempermudah proses pembedaan antara hadits yang bisa diterima dari hadits yang harus ditolak.
Disamping itu mereka juga membeda-bedakan para perawi hadits. Mereka mengarang kitab-kitab tentang para perawi hadits: Yang terpercaya, yang lemah dan para pemalsu hadits. Mereka menukilkan pula (dalam karangan-karangan tersebut) ucapan para Imam yang memiliki ilmu dalam bidang pencatatan dan pemujian perawi hadits (para ulama jarh wa ta’dil). Bahkan mereka membeda-bedakan riwayat-riwayat dari rawi yang satu antara riwayat-riwayat yang ia diterima dari penduduk negeri Syam, penduduk negeri Iraq atau penduduk negeri Hijaz10, Mereka juga membedakan antara riwayat seorang yang mukhtalath (orang-orang yang kacau hapalannya) 11, mana hadits-hadits yang diriwayatkan sebelum ikhtilath dan yang diriwayatkan sesudahnya. Demikian seterusnya.
Sesungguhnya orang yang membidani ilmu hadits dengan berbagai macam cabangnya, pembagiannya, jenis dan karya-karya tulis tentangnya, akan benar-benar mengakui besarnya andil mereka (ulama pewaris nabi) dalam menjaga hadits Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka telah menjelaskan aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah dengan seluruh bab-bab nya dan membantah para ahlul bid’ah yang menyimpang darinya. Mereka telah memberikan peringatan agar berhati-hati ahlul ahwa’ wal bid’ah, melarang duduk bersama mereka dan berbincang-bincang dengan mereka. Bahkan mereka tidak mau menjawab salam dari ahlul bid’ah, serta tidak mau menikahkan anak perempuannya dengan mereka dalam rangka menghinakan dan merendahkan ahlul bid’ah dan  yang sejenisnya. Selanjutnya mereka menulis tentang hal ini dalam banyak tulisan.
Mereka telah mengumpulkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang berkenaan dengan tafsir Al-Quran AL-Adhim, seperti Tafsir Ibnu Abi Hatim, Tafsir As-Shan’ani, Tafsir AnNaasa’i. Diantara mereka ada yang mengarang kitab-kitab tafsir mereka seperti Tafsir At-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir dan yang lainnya. Disamping mengarang kitab-kitab tafsir mereka juga membentuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar tentang tafsir Al-Qur’an. Bahkan mereka juga membedakan antara penafsiran yang menggunakan riwayat dengan penafsiran yang menggunakan rasio.
Keemudian mereka juga meengarang kitab-kitab fiqh dengan seluruh bab-babnya. Mereka berusaha membahas setiap permasalahan fiqh dan menjelaskan hukum-hukum syariat amaliyah dilengkapi dengan dalil-dalil yang rinci dari Al-Qur’an, As Sunah,Ijma’ dan Qiyas(sebagai landasan pembahasan). Mereka meletakan kaidah-kaidah fiqh dan yang dapat mengumpulkan berbagai cabang dan bagian (permasalahan) dengan ilat (penyebab) yang satu. Lalu mereka juga menyusun ilmu ushul fiqh yang mengandung kaidah-kaidah untuk melakukan istinbath (pengambilan) hukum syariat yang bercabang-cabang. Mereka telah melahirkan karya-karya yang cukup banyak tentang disiplin-disiplin ilmu fiqh ini.
Berikutnya juga mengarang kitab-kitab sirah, tarikh, adab, zuhud, raqaiq(pelembut jiwa), bahasa arab, nahwu, dan bermacam-macam karangaan di berbagai bidang ilmu yang cukup banyak…”
Demikian keterangan yang dibawakan secara panjang lebar oleh Syaikh Tsaqil Ibnu Shalfiq Al-Qashimi. (Sallus Suyuf wa Asinnah ‘ala Ahlil Ahwa wal Ad’iyais Sunnah, hal. 76-77, penerbit Dar Ibnu Atsir)

9.       Tadlis: adalah menyembunyikan yang ada pada sanad hadits dan menampakkan baik pada dhahirnya (Taisir Musthalahil Hadits karya Mahmud Thanan, hal.79, cetakan Maktabatul Ma’arif)
10.    Karena kadang-kadang satu perawi hadits diterima riwayatnya kalau ia meriwayatkan dari penduduk Syam. Tetapi ditolak kalau menerima dari penduduk Iran.
11.    Ini yang disitlahkan dengan ikhtilat dan mukhtalat dalam Musthalahul Hadits, yaitu satu perawi yang hapalannya berubah. Awalnya dia pengahapal yang baik, kemudian pikun misalnya. Atau seorang perawi yang asalnya dia meriwayatkan dari buku catatannya, kemudian hilang catatannya.

Dari masa ke masa  para ulama pewaris nabi telah berjasa dalam bidang-bidang ilmu seperti yang disebutkan diatas. Diantaranya adalah:
Ahmad bin Hanbal, Ad-Darimi, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Malik bin Anas, Sufyan At-Tsauri, Ali bin Al-Madani, Yahya bin said, Al-Qahthan, Asy-Syafi’I, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu Khuzaimah, Ad-Daruquthuni, Ibnu Hibban, Ibnu ‘Adi, Ibnu Mandah, Al-Lalikai, Ibnu Abi Ashim, Al-Khalal, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Ibnu abdil Bar, Al Khatib Al-Baghdadi, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab beserta anak-anak dan cucu-cucunya yang menjadi ulama Nejd, Muhibuddin Al-Khatib, Muhammad Hamid Al-Fiqi dari Mesir dan ulama Sudan, para ulama Maroko dan Syam, dan seterusnya.
Kemudian ulama masa kini yang berjalan di atas manhaj ulama terdahulu seperti Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz (mufti negara Saudi Arabia), Syaikh ahlul hadits Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh, Syaikh Shalih Al-Fauzaan, Shalih Ak-Athram, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Abdullah Al Ghadyan, Shalih Al-Luhaidan, Abdullah bin Jibrin, Abdur Razaq Afifi, Humud At-Tuwaijiri, Abddul Muhsin Al-Abbad, Hammad Al-Anshari, Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Muhammad Aman Al-Jami’, Ahmad Yahya An-Najami, Zaid Muhammad Hadi Al-Madkhali, Shalih Suhaimi, Shalih Al-‘abbud dan para ulama lain yang berada di alam Islami (saat ini).
Kita memohon petunjuk kepada Allah yang Maha Hidup dan berdiri sendiri untuk menjaga yang masih hidup dari mereka dan merahmati yang sudah meninggal. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita semua orang-orang yang mengikuti langkah mereka dan membangkitkan kita bersama mereka dan Nabi tauladan kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di dalam Surga Firdaus. (Lihat Sallus Suyuf hal. 78-79)

CIRI-CIRI DAN SIFAT ULAMA PEWARIS NABI
Didunia ini ulama dibagi menjadi 2 bagian:
1.   Ulama su’ (ulama yang jahat)
2.   Ulama pewaris Nabi

Sifat Ulama Su’ (Ulama Yang Jahat)
Ulama su’ memiliki sifat cinta yang berlebihan terhadap kesenangan dunia. Ibnu Qudamah menjelaskan tentang mereka dengan mengucapkan: “Mereka adalah orang-orang yang bertujuan menggunakan ilmu agama untuk bersenang-senang dengan dunia dan mencapai kedudukan yang tinggi disisi pendukungnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Dari abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda: “Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu yang semestinya untuk mencari wajah Allah, (kemudian) dia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkansebuah tujuan dunia, dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat nanti.” (HR. Abu dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dalam riwayat lain Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barang siapa yang mempelajari  ilmu agama untuk membanggakan diri terhadap para ulama atau mendebat orang-orang yang bodoh atau mengalihkan perhatian manusia kepadanya, maka dia di neraka.” (HR. Tirmidzi)
Sebagian Salaf menandaskan: “Manusia yang paling menyesal disaat meninggal dunia adalah orang alim yang menyia-nyiakan ilmunya.”

Sifat Ulama Pewaris Nabi
Mereka mengetahui bahwa dunia itu hina dan akhirat itu mulia. Keduanya seperti dua madu (dibawah seorang suami, pent.). Oleh kerena itu mereka lebih mengutamakan akhirat. Hal ini mereka realisasikan dalam bentuk perbuatan yang tidak pernah menyelisihi ucapan mereka. Mereka cenderung mempelajari ilmu yang bermanfaat di akhirat dan menjauhkan ddiri dari ilmu yang sedikit manfaatnya.
Sebagaimana telah diriwayatkan dari Syaqiq Al-balkhi rahimahullah bahwa dia pernah bertanya kepada Hatim: “Engkau telah bergaul denganku beberapa lama, lalu apa yang engkau pelajari (dariku)?’
Hatim menjawab: (aku telah mempelajari) 8 perkara, diantaranya yang pertama:
Aku melihat kepada para mahluk, maka aku dapati setiap orang memiliki kekasih. Namun tatkala ia memasuki kuburannya ia berpisah dari kekasihnya. Disaat itu aku menjadikan kebaikan-kebaikanku sebagai kekasihku agar kekasihku tetap bersamaku di dalam kubur…dst.
Kemudian termasuk sifat ulama akhirat:
   §  Mereka menjauhi penguasa dan menjaga diri mereka.
Hudzaifah bin Yaman menasehatkan: “Hindari oleh kalian tempat-tempat fitnah.” Beliau ditanya:”Apa itu tempat-tempat fitnah.”Beliau menjawab:’(tempat-tempat fitnah) adalah pintu-pintu para penguasa. Salah seorang diantara kalian masuk menemui seorang penguasa, lantas dia akan membenarkan penguasa itu dengan dusta dan menyatakan sesuatu yang tidak ada padanya.”
Said bin Musayyib menegaskan:”Jika kamu melihat seorang alim bergaul dengan penguasa, maka hati-hatilah darinya karena sesungguhnya dia adalah pencuri.”
Sebagian Salaf menjelaskan:”Sesungguhnya tidaklah kamu mendapatkan sesuatu kehidupan dunia (dari para penguasa) melainkan mereka telah memperoleh dari agamamu sesuatu yang lebih berharga darinya.”
   §  Mereka tidak terburu-buru dalam berfatwa (sehingga mereka tidak berfatwa kecuali setelah menyakini kebenarannya).
Adalah para Salaf saling menolak untuk berfatwa sampai pertanyaan kembali lagi kepada orang yang pertama (di tanya).
Abdurrahman bin Abi Laila menceritakan kisahnya: “Aku pernah mendapati di masjid (nabi) ini 120 orang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka saat ditanya tentang suatu hadits atau fatwa melainkan dia ingin saudaranya (dari kalangan shahabat yang lain) yang menjawabnya. Kemudian tibalah masa pengangkatan kaum-kaum yang mengaku berilmu saat ini. Mereka bersegera menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kalau seandainya pertanyaan ini dihadapkan kepada Umar bin Khattab, niscaya beliau mengumpulkan ahli Badar untuk di ajak bermusyawarah dalam menjawabnya.”
   §  Ulama akhirat mayoritas pembahasan mereka adalah ilmu yang berkaitan dengan amal dan perkara-perkara yang dapat merusakannyamengotori hati dan membangkitkan was-was. Hal ini disebabkan karena membentuk amalan-amalan sangat mudah sedangkan membersihkan amat sulit. Kaidah dasarnya adalah:“Menjaga diri dari kejelekan tidak akan bisa terjadi hingga ia mengetahui tentang kejelekan.”
   §  Ulama akhirat selalu membahas atau mencari rahasia amalan-amalan yang di syariatkan dan memperhatikan hikmah-hikmahnya. Jika mereka tidak mampu menyibak tabir rahasianya, mereka tetap bersikap pasrah dan menerima syariat Allah.
   §  Termasuk sifat Ulama Akhirat adalah mengikuti para shahabat dan orang-orang pilihan dari kalangan tabi’in selanjutnya mereka menjaga diri dari setiap perkara baru dalam agama(bid’ah).
(disadur dari Minhajul Qashidin karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal. 23-26, Maktabah Dar bayan Muassah ‘Ulumul Qur’an)




PUJIAN ALLAH TERHADAP ULAMA
            Setelah kita mengetahui peranan penting para ulama dalam melanggengkan keberlangsungan dakwah Islam, rasanya sangatlah tepat Allah memuji mereka dalam banyak ayat Al-Qur’an. Diantaranya Allah berfirman:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalaulah mereka menyerahkan urusannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaithan, kecuali sebagian kecil saja (diantara kamu).”(An-Nisa:83)
            Imam Al-Hasan Al-Basri dan Al-Qatadah menafsirkan:”Ulil amri dalam ayat ini adalah ahlul ilmi dan fiqh.”(Tafsir Thabari jilid 3 juz 5 hal.177 cet. Dar.Kutub Ilmiyyah)
            Allah juga berfirman:
“Allah memberikan kesaksian bahwasanya tidak ada ilah melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga memberikan kesaksian demikian). Tidak ada ilah melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Ali Imran:18)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan: “…ini kedudukan yang mengandung keistimewaan agung bagi para ulama….”(Tafsir Ibnu Katsir, jilid I hal.360, cet.Dar.Ma’rifah)
Lihatlah bagaimana dalam ayat ini Allah menggandengkan antara persaksian orang-orang berilmu dengan persaksian Allah sendiri dan malaikat-Nya. Hal ini menunjukan keutamaan yang agung bagi para ulama.”(Sallus Suyuf hal.63)
Allah berfirman:
“Katakan: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”(Az-Zumar:9)
            Imam Al-Qurthubi mengomentari ayat ini dengan menyatakan: “Orang yang berilmu adalah orang yang bisa mengambil manfaat dari ilmunya dan tidak bisa mengambil manfaat dari ilmunya dan tidak mengamalkannya, maka ia bukan seorang yang berilmu…..”(Tafsir Qurthubi jilid 8 juz 15 hal. 156, cetakan Dar Kutub Ilmiyyah)
            Tentunya pertanyaan Allah disini adalah pertanyaan “pengingkaran”. Yang jelas jawabannya adalah: “Tidak sama.” Maka dari pemahaman ini ayat diatas menunjukkan keutamaan ulama dari yang bukan ulama.
            Syaikh Tsaqil Ibnu Shalfiq Al-Qasami mempertegaskan hal ini. Beliau menyatakan:”Lihatlah bagaimana dalam ayat ini Allah memuliakan para ulama! (Allah menjelaskan) bahwa orang yang tidak berilmu tidak sama kedudukannya dengan orang yang berilmu.”(Sallus Suyuf hal.63)
            Allah berfirman:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…..”(Al-Mujadalah: 11)
            Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat diatas dengan menyatakan:”Maksud”(“Allah meninggikan mereka”) adalah dalam hal pahala di akhirat dan kemuliaan di dunia. Maka Allah mengangkat derajat orang yang beriman diatas orang yang beriman, dan mengangkat derajat orang yang berilmu diatas derajat orang yang tidak berilmu. Ibnu Mas’ud berkata: “Dalam ayat ini Allah memuji para ulama.”Makna ayat ini adalah Allah mengangkat (derajat) orang yang beriman dan berilmu diatas orang yang beriman namun tidak berilmu beberapa derajat dalam agama mereka jika mereka melaksanakan apa yang diperintahkan Allah…”(Tafsir Qurthubi jilid 9 juz hal. 194, cetakan Dar Kutub Ilmiyyah)
            Demikianlah beberapa ayat beserta tafsirannya yang mengandung pujian terhadap para ulama. Tentunya banyak ayat lain yang senada dengan ayat-ayat diatas. Kami membawakan sebagian saja unttuk meringkas pembahasan kita ini. Keterangan diatas sekali lagi menunjukan kepada kita bahwa para ulama adalah orang-orang yang mulia disisi Allah sehingga menjadi sebab turunnya rahmat di alam ini. Oleh karena itu semua muslimin memiliki kewajiban memuliakan para ulama pewaris nabi sebagaimana Allah telah memuliakan mereka. Barang siapa yang ingin menanam saham dalam menghancurkan dan merusak Islam, tentu ia akan menjatuhkan kehormatan dan meninggalkan para ulama.
            Cinta pada para ulama adalah salah satu tanda bagi seseorang bahwa dia Ahlus Sunah. Al-Imam Abu Utsman As-Shabuni mengatakan: “salah satu tanda dari Ahlus Sunah adalah mereka (Ahlus Sunnah) cinta kepada para Imam Sunnah, para ulama sunnah dan para wali Sunnah. Disamping itu mereka benci kepada para Imam ke bid’ahan yang menyeru ke neraka dan menunjukan para pengikutnya ke tempat kebinasaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghiasi dan menyinari hati dengan cahaya cinta kepada para ulama sunah sebagai sebuah keutamaan dari Allah ‘aza wa Jalla.”(Aqidatus Salaf Ash-Habul Hadits karya Abu Utsman Ashabuni hal. 121 cetakan Maktabah Ghuraba Al-Atsariyah)
            Adapun membenci para ulama merupakan salah satu tanda bagi seorang bahwa ia adalah Ahlul Bid’ah. Mengenai hal ini, Abu Utsman Ashabuni berkata:”Tanda-tanda Ahlul Bid’ah sangat jelas dan nampak pada diri mereka. Tanda mereka yang paling menonjol dan nampak jelas adalah permusuhan mereka yang keras, penghinaan dan pelecehan terhadap ulama pembawa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka menggelari para ulama dengan sebutan “orang dungu”, “bodoh”,”tekstual”dan “orang yang suka menyerupakan Allah dengan makhluk –Nya “dst… (Aqidatus Salaf hal.116)
            Inilah beberapa keterangan seputar pembahasan ulama pewaris Nabi. Kita berharap pada Allah, mudah-mudahan tulisan ini bermamfaat bagi kaum muslimin dalam mengenali para ulama yang berada di tengah-tengah mereka.
            Ya Allah! Jadikanlah kami para hamba-Mu yang gigih dalam membela agama-Mu dan terimalah amal-amal kami sebagai amal yang berbuah hasil ridla di sisi-Mu.Amin,ya Rabbul ‘alamin.

∞∞ ∞∞ ∞∞
 Penulis: Ustadz Abdul Mu’thi



Maraji’ (Daftar Pustaka):

1.    Al-Hujjah fi bayanil Mahajjah, Abul qasim Al-Ashbahani, tahqiq dan dirasah Muhammad bin Rabi’ bin Hadi Umair Al-Madkhali, cetakan dar Rayah.S
2.    Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, cetakan Maktabah Dar Bayan.
3.    Sallus Suyuf wal Asinnah ‘ala Ahlil Ahwa wal Ad’iyais Sunnah, Dar Ibnu Atsir.
4.    Minhajul Qasidhim, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, penerbit Maktabah Dar Bayan & Muassah “Ulumul Qur’an.
5.    Tafsir Thabari jilid 3 juz 5, Imam Thabari, penerbit Dar Kutub Ilmiyyah.
6.    Tafsir Ibnu Katsir jilid1, Ibnu Katsir, penerbit Dar Ma’rifah.
7.    Tafsir Qurthubi jilid 8 juz 15, Imam Al-Qurthubi, penerbit Dar kutub Ilmiyyah.
8.    Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits, Abu Utsman As-Shabuni, cetakan Maktabah Ghuraba Al-atsariyah.


Perbedaan Antara Mahdi Ahlus Sunnah dan Mahdi Syi’ah


Seperti yang telah disinggung, sebenarnya Mahdi ala Syi’ah hanyalah khurafat yang tiada nyatanya. Sehingga perbandingan di sini adalah perbandingan antara Mahdi nyata dan Mahdi fiktif yang diyakini Syi’ah.


1. Mahdi Ahlus Sunnah bernama Muhammad bin Abdillah sesuai dengan nama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan nasabnya. Sedangkan Mahdi Syi’ah namanya Muhammad bin Hasan Al-‘Askari.


2. Mahdi Ahlus Sunnah dari keturunan Al-Hasan bin ‘Ali. Sedangkan Mahdi Syi’ah dari keturunan Al-Husain bin ‘Ali.

3. Mahdi Ahlus Sunnah kelahiran dan kehidupannya seperti layaknya manusia yang lain. Sedangkan Mahdi Syi’ah dikandung dan dilahirkan dalam waktu semalam, lalu masuk sirdab pada umur 9 tahun, sementara telah berlalu di dalamnya waktu sepanjang 1.150 tahun lebih.

4. Mahdi Ahlus Sunnah muncul untuk menolong muslimin secara umum, tanpa membedakan jenis mereka. Sedangkan Mahdi Syi’ah hanya untuk Syi’ah Rafidhah, bahkan sangat benci kepada bangsa Arab, terlebih Quraisy.

5. Mahdi Ahlus Sunnah mencintai para shahabat dan ibu-ibu kaum mukminin (istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Sementara Mahdi Syi’ah sangat membenci mereka, bahkan menyiksa mereka setelah mengeluarkan mereka dari kubur mereka.

6. Mahdi Ahlus Sunnah mengamalkan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memberantas bid’ah. Sementara Mahdi Syi’ah mengajak kepada agama baru dan kitab yang baru.

7. Mahdi Ahlus Sunnah memakmurkan masjid. Sementara Mahdi Syi’ah menghancurkan masjid. Ia menghancurkan Masjidil Haram Ka’bah, masjid Nabawi, dan seluruh masjid.

8. Mahdi Ahlus Sunnah berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan Mahdi Syi’ah berhukum dengan hukum keluarga Dawud.

9. Mahdi Ahlus Sunnah muncul dari negeri timur. Sementara Mahdi Syi’ah muncul dari sirdab Samarra`.

10. Mahdi Ahlus Sunnah benar-benar ada, seperti terdapat dalam hadits dan penjelasan ulama. Sementara Mahdi Syi’ah adalah khayalan dan tidak akan muncul sampai kapanpun. (diringkas dari kitab Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/255-257)

11. Mahdi Ahlus Sunnah datang membawa keadilan. Sementara Mahdi Syi’ah datang membawa malapetaka dan kehancuran.

Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=510
http://ngajiyok.blogspot.com/2012/08/perbedaan-antara-mahdi-ahlus-sunnah-dan.html

Jumat, 24 Agustus 2012

KEWAJIBAN BERTAUHID DAN MENJAUHI KESYIRIKAN


Apa Tujuan Diciptakannya Jin Dan Manusia?
Banyak akal yang salah dalam menjawab pertanyaan ini dan banyak pemahaman yang membingungkan dalam perkara ini, kecuali akal yang tersinar wahyu Ilahi yang terbimbing dengan wahyu tersebut serta mengikuti para rosul-Nya. 
Akal seseorang lemah dari keluasan pengetahuan tujuaan diciptakannya jin dan manusia, oleh karena itu perlu mengetahuinya dari Kitabullah (Al Qur‘an) yang tidak ada kebathilan padanya yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebutkan tentang tujuan penciptaan ini didalam firman-Nya : 
“ Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali beribadah (mengesakan ibadahnya) kepada-Ku, Aku tidak mengendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak mengendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku, Sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan Lagi Maha Sangat Kuat.” (QS. Adz-Dzariat : 56-58)
Berkata Al Imam Ibnu Katsir tentang tafsir ayat ini : “Bahawasanya Allah ta’ala menciptakan makhluk untuk beribadah hanya kepadaNya saja tidak ada sekutu bagiNya. Barangsiapa mentaati-Nya maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang sempurna. Dan barngsiapa yang durhaka (menentang) kepada-Nya maka Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang sangat dahsyat. Dan Allah memberitakan bahwanya Dia tidak butuh kepada makhukNya bahkan merekalah yang butuh kepadaNya dan Dialah Yang menciptakan dan Yang memberi rizki mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan makhluk untuk ibadah kepadaNya. Dan ini konsekwensi akal yang sehat. Karena tidak ada yang berhak mendapatkan ibadah kecuali Dzat Yang mampu dalam mencipta dan memberi rizki, sebagaimana Allah Ta’ala firman:
“Berhala-berhala yang mereka ibadahi selain Allah itu tidak mampu dalam menciptakan (membuat) sesuatu apapun, sedang berhala- berhala tersebut dicipakan (dibuat oleh orang).” (QS. An-Nahl : 20)
Dan juga Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya yang kalian ibadahi selain Allah itu tidak mampu memberikan rizki kepada kalian.” (QS. Al-Ankabut : 17)
Misi Diutusnya Para Rosul
Allah yang menetapkan ibadah ini pada makhluk-Nya.Dia pulalah yang mengutus para Rosul-Nya untuk berdakwah atau menyeru ummatnya kepada peribadatan kepada Allah semata, dan melarang dari peribadatan kepada selain-Nya, sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Sungguh Kami mengutus seorang rosul pada setiap kelompok manusia untuk menyerukan beribadalah kepada Allah saja dan tinggalkan thoghut.” (QS. An-Nahl : 36)
Dan juga Dia berfirman :
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rosul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan padanya bahwa tidak dan sesembahan yang haq diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku.” (QS. Al-Anbiya’ : 25)
Ibadah merupakan hikmah yang karenanyalah diciptakan jin dan manusia. Dan karena ibadah ini pulalah diciptakan langit dan bumi, dunia dan akhirat, jannah (surga) dan nar (neraka). Dan karena ibadah inilah Allah mengutus para Rosul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya, mensyari'atkan hukum-hukum-Nya dan menjelaskan halal dan haram untuk menguji makhlukNya, siapa diantara mereka yang paling baik amalnya.
Pengertian ibadah
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah-: ”Ibadah adalah suatu nama yang mencakup seluruh perkara yang dicintai oleh Allah dan diridhoi-Nya baik berupa ucapan maupun perbuatan baik yang tampak maupun yang tersembunyi”.
Asal ibadah adalah ketundukan dan perendahan diri. Suatu ibadah tidaklah dikatakan ibadah sampai diikhlaskan untuk Allah. Apabila ibadah itu tercampur suatu kesyirikan maka ibadah tersebut tertolak atau tidak diterima atas pelakunya dan ibadah tersebut batal dari asalnya, karena ibadah tersebut ketika itu tidak dinamakan ibadah syar’i.
Jadi suatu ibadah tidaklah dikatakan ibadah syar’i kecuali disertai dengan tauhid (mengesekan Allah dalam ibadah). Berkata Ibnu Abbas : عِبَادَةُ اللهِ تَوْحِيْدُ اللهِ ibadatullah (beribadah kepada Allah) maknanya adalah tauhidullah (mengesakan Allah dalam ibadah).

Pengertiaan Tauhid Dan Macam-Macamnya
At Tauhid adalah mengesakan Allah dalam perkara-perkara khusus bagi-Nya berupa ar-rubuyiah, al uluhiyah dan al asmaul husna.
Tauhid terbagi menjadi 3 macam :
a.   Tauhid Rububiyyah, mengesakan (Allah) dalam pencipataan, pemilikan dan pengaturan alam semesta.Tauhid jenis ini diyakini oleh kaum musyrikin. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Katakanlah siapa yang memberi rizki pada kalian dari langit dan bumi, Siapakah yang memiliki (menciptakan) penglihatan, Siapa yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapa yang mengatur segala urusan? maka mereka (kaum musyrikin) menjawab “Allah” (karena mereka meyakini semua itu –red) maka katakannlah: kenapa kalian tidak bertaqwa kepadNya ? (Kemudian kaliaan mengikhlaskan ibadah hanya kepadaNya tiada sekutu bagiNya dan kalian meninggalkan sesembahan selain Allah).” (QS. Yunus : 31).
b.   Tauhid Uluhiyyah, yaitu mengesakan Allah dalam ibadah, yaitu dengan tidak menjadikan bersama Allah sesuatu yang diibadahi dan bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada-Nya. Tauhid jenis ini banyak diingkari dan ditentang oleh kebanyakan makhluk. Oleh karena itu Allah mengutus para rosul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya. Allah berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rosul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan padanya bahwa tidak dan sesembahan yang haq diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku.” (QS. Al Anbiya’ : 25)
c.   Tauhidul Asma’ Was Sifat, yaitu mengesakan Allah dalam nama dan sifat yang Allah namai dan sifati pada dirinya didalam kitabNya atau melalui lisan Rosul-Nya. Yang demikian ini dengan menetapkan apa yang Allah tetapkan dan menafikan (meniadakan) apa yang Allah nafikan, tanpa tahrif dan ta’thil, tanpa takyif dan tamtsil. Tauhid jenis ini diyakini sebagian musyrikin dan diingkari oleh sebagian yang lainnya.
Jika seseorang meyakini sifat-sifat yang Allah berhak mendapat sifat tersebut dan dia mensucikan Allah dari semua perkara yang Allah suci dari darinya serta dia menyakini bahwasanya Allah sajalah pencipta segala sesuatu maka tidaklah sebagai muwahhid sampai dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah.

Pengertian Syirik dan Macam- MacamNya
Syirik merupakan lawan tauhid. Syirik ada 2 macam:
a. Syirik Akbar yaitu segala kesyirikan yang telah disebutkan dalam syariat yang berkonsekwensi keluarnya seseorang dari agamanya.
b. Syirik Ashghor yaitu segala amalan baik ucapan maupun perbuatan yang disebutkan dalam syariat pensifatan kesyirikan, akan tetapi tidak mengeluarkan pelakunya dari agamanya. Seperti riya’, bersumpah dengan selain Allah, ucapan seseorang “Kalau bukan karena Allah dan Karenamu, maka…”, dll.
Perbedaan Kedua macam Syirik Dan Kesamaanya
Syirik Akbar mengeluarkan seseorang dari agamanya, menggugurkan seluruh amalan, dan pelakunya kekal di nar (neraka) sedangkan syirik ashghor tidak mengeluarkan seseorang dari agamanya, hanya menggugurkan amalan yang dia berbuat syirik dalam amalan tersebut dan pelakunya tidak kekal di dalam nar (neraka).
Adapun kesamaannya, kedua-duanya tidak diampuni oleh Allah (jika dia meninggal dalam keadaan belum sempat bertaubat kepada Allah). Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Allah mengampuni dosa selain syirik bagi orang yang Allah kehendaki.” (QS. An Nisa’ : 48)
Dalam ayat tersebut Allah memberitakan bahwasanya Dia tidak mengampuni dosa syirik bagi yang tidak bertaubat darinya. Sedangkan dosa selain syirik maka berada di bawah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, maka Allah ampuni dan jika Allah berkehendak lain, maka Allah mengadzabnya.

Mengapa Harus Bertauhid Dan Menjauhi Kesyirikan
Allah Ta'ala berfirman :
“Wahai manusia beribadahlah kalian kepada Rabb kalian yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” (QS. Al-Baqoroh : 21)
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengesakan ibadahnya) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariat : 56)
“Tidaklah mereka diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama (ibadah) ini untuk Allah dan berpaling dari seluruh agama yang menyelisihi agama tauhid.” (QS. Al-Bayyinah : 5)
Dan sangat banyak ayat-ayat tentang perintah beribadah kepada Allah, maksud ibadah yang karenayalah diciptakannya jin dan manusia adalah mengesakan Allah dalam ibadah dan mengkhususkan Allah dalam seluruh ketaatan yang diperintahkan seperti sholat, shaum, zakat, haji, menyembelih, bernadzar, dan jenis-jenis ibadah yang lain. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman :
“Katakanlah, sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku untuk Allah Rabb semesta alam yang tiada sekutu bagiNya. Dan karenanyalah (ikhlas dalam ibadah) aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri kepada Allah.” (QS. Al-An’am : 162-163)
Disamping Allah memerintahkan untuk bertauhid, Allah pulalah yang melarang lawan tauhid tersebut yaitu kesyirikan, sebagaiman Allah berfirman :
“Katakanlah : Kemarilah aku bacakan apa yang di haramkan atas kalian dari Rabb kalian yaitu: janganlah kalian menyekutukanNya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-An’am : 151)
“Sesungguhnya masjid-masjid ini milik Allah maka janganlah kalian beribadah kepada sesuatu apapun bersama Allah.” (QS. Al-Jin : 18)
“Barangsiapa yang beribadah bersama Allah kepada sesembahan yang lain yang tidak ada dalil baginya tentang itu, maka sesungguhnya hisab (perhitungan)nya disisi Rabb-nya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak beruntung.” (QS. Al-Mukminun : 117)
“Yang berbuat demikian itulah Alloh Robb-mu, hanya milikNyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kalian berdo’a kepadanya selain Allah tidak memiliki sesuatu apapun walaupun setipis kulit biji kurma, jika kalian berdo’a kepada mereka, mereka tidak mendengar do’a kalian dan jika mereka mendengar, mereka tidak bisa mengabulkan do’a kalian. Dan dihari kiamat mereka mengingkari kesyirikan kalian. Dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti Dzat Yang Maha Mengetahui.” (QS. Fathir : 13-14)
Allah Azza Wa jalla menjelaskan dalam ayat ini bahwasanya sholat dan menyembelih untuk selain Allah dan berdo’a kepada mayit, berhala, pepohanan, dan bebatuan., semua itu adalah kesyirikan dan kekufuran kepada Allah. Dan seluruh yang diibadahi selain Allah seperti para nabi, malaikat , wali-wali, atau jin dan yang lainnya, mereka semua tidak bisa memberikan mafaat dan menolak madhorot bagi penyembahnya. Mereka tidak bisa mendengar do’a pemyembahnya. Dan jika mereka mendengar, mereka tidak mampu mengambulkan.
Maka wajib bagi setiap mukallaf baik jin dan manusia berwaspada dari kesyirikan ini, memperingati dan menjelaskan bathilnya kesyirikan ini. Dan bahwasanya kesyirikan ini menyelisihi risalah para rosul yang menyeru kepada Tauhidullah dan mengikhlaskan ibadah untukNya.
Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama 13 tahun menyeru kepada tauhid dan memperingati manusia dari kesyirikan. Kemudian beliau hijrah ke Madinah menebarkan dakwah disana di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshor , berjihad di jalan Allah, menulis dan menjelaskan dakwah dan syariat yang beliau bawa kepada raja-raja dan tokoh-tokoh masyarakat. Beliau dan para shahabat bersabar dalam dakwah ini sampai menanglah agama Allah ini, dan manusia berbondong-bondong masuk kedalam Islam. Tersinarlah tauhid dan sirnalah kesyirikan di Makkah, Madinah dan seluruh kepulaun yang di kuasai oleh beliau dan yang dikuasai oleh para shahabat setelah beliau. Jayalah Islam dan muslimin disaat itu karena mereka berpegang teguh dengan tauhidullah dan meninggalkan kesyirikan.
“Dialah Dzat yang mengutus rosul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar Dia memenangkannya diatas seluruh agama, sekalipun orang musyrik itu benci.” (QS. Ash-Shoff : 9) 
Wallahu A’lam Bish showab..


Ditulis oleh: Buletin Al-Ilmu

SIROH : Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu Pencari Kebenaran Sejati


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu:
لَوْ كَانَ الْإِيمَانُ عِنْدَ الثُّرَيَّا، لَنَالَهُ رِجَالٌ مِنْ هَؤُلَاءِ
“Seandainya keimanan itu berada (jauh) di bintang Tsurayya, niscaya orang-orang dari mereka ini telah meraihnya.” Muttafaq ‘alaih

Banyak hati yang tergerak untuk mencari kebenaran. Tak sedikit orang yang mengayunkan langkah, menelusuri jalan panjang demi sebuah hidayah. Namun, kerap kali mereka goyah didera badai ujian, sementara tak jarang jemari melemah melepas hidayah yang sempat digenggam.
Inilah Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang mulia. Kegigihannya dalam mencari kebenaran adalah teladan. Kekokohannya menggenggam hidayah adalah bukti kebenaran iman.

Dari mana Asal Beliau radhiyallahu ‘anhu?
Salman adalah salah seorang penduduk Persia (dalam bahasa Arab, Faris), karena itulah beliau disebut dengan al-Farisi. Dari sanalah beliau berasal, tepatnya di sebuah desa bernama Jayy, bagian dari kota Asbahan (kota Isfahan, Iran). Ketika itu, beliau dikenal dengan nama aslinya, Ruziyah. Setelah memeluk Islam beliau bergelar Abu Abdillah, masyhur dengan julukan Salman al-Khair atau Salman bin al-Islam.
Ayah beliau adalah seorang pembesar di desanya. Kecintaan yang sangat kepada Salman membuat sang ayah menahan puteranya di dalam rumah layaknya gadis pingitan. Salman menjalani hari-harinya  sebagai penjaga api, sesembahan pemeluk agama Majusi.
Awal Mula Meninggalkan Agama Majusi
Ayah Salman memiliki sebuah ladang yang amat luas. Suatu ketika, dia tersibukkan oleh bangunan miliknya dan menyuruh Salman pergi ke ladang. Di tengah perjalanan, Salman melewati sebuah gereja Nasrani. Salman kemudian masuk dan mendapati orang-orang Nasrani yang sedang beribadah. Rasa kagum meliputi hati Salman. Dari mereka, Salman mengetahui bahwa agama Nasrani itu berasal dari Syam (Palestina dan sekitarnya).
Salman mengisahkan peristiwa itu dan mengungkapkan kekagumannya kepada ayahnya. Kekhawatiran menghinggapi diri sang ayah. Karenanya, ayah Salman kemudian membelenggu kedua kaki Salman dan menahannya di rumah.
Inilah Salman. Sesuatu telah berkecamuk di dalam hatinya. Saatnya mencari kebenaran yang selama ini terhalang dari dirinya. Meskipun rintangan pertama justru datang dari ayahnya sendiri.
Hari-hari telah berlalu, tersiar kabar kedatangan rombongan pedagang dari Syam. Kesempatan yang dinanti-nanti. Ketika urusan mereka telah selesai dan hendak pulang ke Syam, Salman melepaskan belenggu dari kedua kakinya dan berangkat bersama mereka ke Syam.

Salman dan Agama Nasrani
Sesampainya di Syam, Salman segera mencari tahu tentang orang yang paling utama di antara pengikut agama Nasrani. Bertemulah Salman dengan seorang uskup yang ada di gereja. Salman tinggal bersama uskup tersebut dan melayaninya di dalam gereja. Ternyata, uskup itu seorang yang jelek perangainya. Dia memerintahkan orang-orang agar bersedekah, namun harta sedekah tersebut disimpannya untuk dirinya sendiri.
Tak lama, uskup itu pun mati. Salman memberitahukan perbuatan uskup tersebut kepada orang-orang Nasrani dan menunjukkan kepada mereka simpanannya berupa tujuh tempayan yang penuh dengan emas dan perak. Mereka pun menyalib uskup tersebut dan tidak menguburkannya.
Kemudian mereka menjadikan orang lain sebagai pengganti. Dia adalah seorang yang tekun beribadah dan zuhud terhadap dunia. Salman sangat mencintainya lebih dari siapapun sebelumnya. Salman tinggal bersamanya hingga tiba saatnya uskup yang baik tersebut didatangi tanda-tanda kematian.
Inilah Salman. Salman mendatanginya dan meminta wasiat untuk dirinya, kepada siapa ia harus pergi. Dia pun berpesan, “Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mendapati seorang pun yang berada di atas agama yang aku peluk. Orang-orang telah binasa. Mereka telah mengubah agama Nasrani dan meninggalkan kebanyakan agama mereka, kecuali seseorang di Maushil (kota Mosul, Irak). Dia adalah Fulan, ia berada di atas agama yang aku peluk, maka temuilah dia!”
Sepeninggalnya, Salman menemui orang yang disebutkan. Salman tinggal bersamanya dan mendapatinya sebagai sebaik-baik orang di atas agama temannya. Sampai ketika tanda-tanda kematian mendatanginya, Salman kembali meminta wasiat untuk dirinya. Senada dengan ucapan temannya yang terdahulu, lelaki baik ini mewasiatkan kepada Salman untuk menemui seorang lelaki di Nashibin (kota Nusaybin, Turki).
Singkat cerita, Salman mengalami kisah sebagaimana masa-masa di Maushil. Sampai dia mendapatkan petunjuk untuk menemui seorang di ‘Ammuriyyah (kota Amorium, Turki) yang berada di atas agama Nasrani. Salman pun menemui lelaki tersebut dan tinggal bersamanya. Di sana Salman bekerja sampai mempunyai banyak sapi dan kambing.
Sebagaimana sebelumnya, menjelang kematiannya, lelaki itu pun berpesan, “Wahai anakku, aku tidak mengetahui ada seorang pun yang berada di atas agama kami yang aku memerintahkanmu untuk mendatanginya. Tetapi telah dekat masa pengutusan seorang nabi. Dia diutus dengan agama Nabi Ibrahim yang muncul dari jazirah Arab, kemudian hijrah ke sebuah negeri di antara dua tanah yang berbatu hitam, di antaranya ada pohon-pohon kurma (kota Madinah).”
Lelaki itu lalu melanjutkan, “Pada orang itu ada tanda-tanda yang tidak tersembunyi, dia memakan hadiah dan tidak memakan sedekah. Di antara kedua pundaknya ada tanda kenabian. Jika engkau mampu untuk mendatangi negeri tersebut, maka lakukanlah!” Tak lama, lelaki itu pun meninggal.

Masuk Islamnya Salman
Suatu hari di ‘Ammuriyyah, lewat sekumpulan pedagang dari suku Kalb. Salman meminta mereka untuk membawanya ke jazirah Arab dengan membayarkan sapi-sapi dan kambing-kambing miliknya. Mereka pun setuju. Namun sesampainya di Wadil Qura, mereka justru menjual Salman kepada seorang Yahudi sebagai budak. Tinggallah Salman bersama Yahudi tersebut.
Allah Maha mengetahui kesungguhan hati Salman. Suatu ketika, anak paman si Yahudi datang dan membeli Salman darinya. Kemudian dia membawa Salman ke Madinah. Salman bisa mengetahuinya dengan ciri-ciri yang disebutkan sahabatnya. Sejak saat itu, Salman tinggal di Madinah.
Sementara itu, tiba masanya Allah mengutus Rasul-Nya. Salman tak mengetahui hal ini sampai ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Pada suatu hari, Salman berada di atas pohon kurma, sementara tuannya sedang duduk. Datanglah anak paman tuannya menceritakan tentang datangnya seorang dari Mekkah di Quba. Orang-orang mengira bahwa dia seorang nabi. Mendengar cerita tersebut Salman gemetar karenanya. Dia berusaha bertanya, namun justru membuat marah tuannya hingga meninjunya dengan keras.
Tak putus harapan, Salman berusaha mencari tahu tentang jati diri orang yang dikira nabi tersebut. Berbekal ciri-ciri yang dia ketahui dari sahabatnya, Salman beberapa kali mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kali pertama, Salman mendatangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa sesuatu sebagai sedekah. Ternyata beliau menyuruh para sahabat memakannya, sementara beliau sendiri menahan diri darinya. Satu bukti bagi Salman.
Kedatangan kedua, Salman kembali membawa sesuatu. Kali ini dia menghadiahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memakannya dan memerintahkan para sahabat untuk makan. Inilah bukti yang kedua bagi Salman.
Ketiga kalinya, Salman mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang mengiringi jenazah seorang sahabat di pekuburan Baqi’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan dua pakaian sejenis jubah. Salman mengucapkan salam, kemudian berkeliling untuk mencari cap kenabian di bagian punggung Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyadari hal ini, lalu melepaskan selendang dari punggung beliau. Salman pun bisa melihat tanda kenabian itu.
Inilah Salman. Seketika itu dia tertelungkup di hadapan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,lalu mencium beliau, dan menangis. Salman akhirnya masuk Islam. Kesungguhannya dalam mencari kebenaran, mengantarkannya  kepada hidayah yang selama ini dia cari.

Kehidupannya dalam Islam
Hari-hari setelahnya, Salman  masih tersibukkan dalam perbudakan, sehingga tidak mengikuti perang Badar dan Uhud. Dengan bantuan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Salman berhasil membebaskan diri dari perbudakan. Sejak saat itu, Salman tak pernah terluput dari mengikuti peperangan bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta peperangan di masa Khulafa’ Rasyidin.
Pada peristiwa perang Khandaq tahun 5 H, Salman menyumbangkan ide yang cemerlang berupa pembuatan parit besar sebagai strategi pertahanan kaum muslimin. Dengan cara inilah kota Madinah selamat dari upaya penyerangan pasukan gabungan musyrikin Quraisy dan Yahudi saat itu.
Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Abu Darda’ dengan Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu. Mereka menjalani kehidupan di dunia ini dengan kecintaan karena Allah. Hingga mereka berdua terpisahkan karena menjalani tugas masing-masing.
Abu Darda’ menjadi seorang Qadhi (hakim) di Damaskus. Adapun Salman, beliau menjadi gubernur di Madain, Irak. Suatu hari, Abu Darda’ mengirim surat untuk Salman, yang isinya, “Marilah menuju bumi yang suci (Syam)”. Maka Salman membalas surat tersebut, “Sesungguhnya bumi itu tidak bisa menyucikan diri seseorang. Hanyalah amalan yang bisa menyucikan seorang hamba.”

Akhir Kehidupannya
Sebagian ulama menyebutkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa umur beliau mencapai 250 tahun, adapun yang menyebutkan lebih dari itu telah terjadi silang pendapat (lihat Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Al Bidayah Wan Nihayah).
Setelah melalui perjalanan panjangnya, beliau wafat dan dimakamkan di Madain, Irak pada tahun 36 H. Beliau telah meninggalkan banyak pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Semoga Allah meridhainya.
Wallahu a’lam bish shawab.

Ditulis oleh: Buletin Al-Ilmu