Rabu, 14 November 2012

Haramnya Nyanyian dan Alat Musik


Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna sehingga dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.” (QS. Luqman: 6)
Abdullah bin Mas’ud berkata menafsirkan ‘perkataan yang tidak berguna’, “Dia -demi Allah- adalah nyanyian.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Itu adalah nyanyian, demin yang tidak ada sembahan yang berhak selain-Nya,” beliau mengulanginya sebanyak 3 kali.
Ini juga merupakan penafsiran dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdillah dari kalangan sahabat. Dan dari kalangan tabi’in: Ikrimah, Said bin Jubair, Mujahid, Mak-hul, Al-Hasan Al-Bashri, dan selainnya. (Lihat selengkapnya dalam Tafsir Ibnu Katsir: 3/460)
Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiallahu anhu bahwa dia mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعازِفَ
“Kelak akan ada sekelompok kaum dari umatku yang akan menghalalkan zina, kain sutra (bagi lelaki), khamar, dan alat-alat musik.” (HR. Al-Bukhari no. 5590)
Kalimat ‘akan menghalalkan’ menunjukkan bahwa keempat hal ini asalnya adalah haram, lalu mereka menghalalkannya.
Lihat pembahasan lengkap mengenai keshahihan hadits ini serta sanggahan bagi mereka yang menyatakannya sebagai hadits yang lemah, di dalam kitab Fath Al-Bari: 10/52 karya Al-Hafizh dan kitab Tahrim Alat Ath-Tharb karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Penjelasan ringkas:
Nyanyian secara mutlak adalah hal yang diharamkan, baik disertai dengan musik maupun tanpa alat musik, baik liriknya berbau maksiat maupun yang sifatnya religi (nasyid). Hal itu karena dalil-dalil di atas bersifat umum dan tidak ada satupun dalil yang mengecualikan nasyid atau nyanyian tanpa musik.
Jadi nyanyian dan musik ini adalah dua hal yang mempunyai hukum tersendiri. Surah Luqman di atas mengharamkan nyanyian, sementara hadits di atas mengharamkan alat musik. Jadi sebagaimana musik tanpa nyanyian itu haram, maka demikian pula nyanyian tanpa musik juga haram, karena keduanya mempunyai dalil tersendiri yang mengharamkannya.
Sebagai pelengkap, berikut kami membawakan beberapa ucapan dari keempat mazhab mengenai haramnya musik dan nyanyian:

A.    Al-Hanafiah.
Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Nyanyian itu adalah haram dalam semua agama.” (Ruh Al-Ma’ani: 21/67 karya Al-Alusi)
Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari berkata, “Abu Hanifah membenci nyanyian dan menghukumi perbuatan mendengar nyanyian adalah dosa.” (Talbis Iblis hal. 282 karya Ibnu Al-Jauzi)

B.    Al-Malikiah
Ishaq bin Isa Ath-Thabba’ berkata, “Aku bertanya kepada Malik bin Anas mengenai nyanyian yang dilakukan oleh sebagian penduduk Madinah. Maka beliau menjawab, “Tidak ada yang melakukukan hal itu (menyanyi) di negeri kami ini kecuali orang-orang yang fasik.” (Riwayat Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Munkar hal. 142, Ibnu Al-Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 282, dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 98)
Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari berkata, “Adapun Malik bin Anas, maka beliau telah melarang dari menyanyi dan mendengarkan nyanyian. Dan ini adalah mazhab semua penduduk Madinah.” (Talbis Iblis hal. 282)

C.    Asy-Syafi’iyah.
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku mendapati di Iraq sesuatu yang bernama taghbir, yang dimunculkan oleh orang-orang zindiq guna menghalangi orang-orang dari membaca AL-Qur`an.” (Riwayat Abu Nuaim dalam Al-Hilyah: 9/146 dan Ibnu Al-Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 283 dengan sanad yang shahih)
Taghbir adalah kumpulan bait syair yang berisi anjuran untuk zuhud terhadap dunia, yang dilantunkan oleh seorang penyanyi sementara yang hadir memukul rebana mengiringinya.
Kami katakan: Kalau lirik taghbir ini seperti itu (anjuran zuhur terhadap dunia) dan hanya diiringi dengan satu alat musik sederhana, tapi tetap saja dibenci oleh Imam Asy-Syafi’i, maka bagaimana lagi kira-kira jika beliau melihat nasyid yang ada sekarang, apalagi jika melihat nyanyian non religi sekarang?!
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah berkata mengomentari ucapan Asy-Syafi’i di atas, “Apa yang disebutkan oleh Asy-Syafi’i bahwa taghbir ini dimunculkan oleh orang-orang zindiq adalah ucapan dari seorang imam yang mengetahui betul tentang landasan-landasan Islam. Karena mendengar taghbir ini, pada dasarnya tidak ada yang senang dan tidak ada yang mengajak untuk mendengarnya kecuali orang yang tertuduh sebagai zindiq.” (Majmu’ Al-Fatawa: 11/507)
Ibnu Al-Jauzi berkata, “Murid-murid senior Asy-Syafi’i radhiallahu anhum mengingkari perbuatan mendengar (nyanyian).” (Talbis Iblis hal. 283)
Ibnu Al-Qayyim juga berkata dalam Ighatsah Al-Luhfan hal. 350, “Asy-Syafi’i dan murid-murid seniornya serta orang-orang yang mengetahui mazhabnya, termasuk dari ulama yang paling keras ibaratnya dalam hal ini (pengharaman nyanyian).”
Karenanya Ibnu Al-Jauzi berkata dalam Talbi Iblis hal. 283, “Maka inilah ucapan para ulama Syafi’iyah dan orang-orang yang baik agamanya di antara mereka (yakni pengharaman nyanyian). Tidak ada yang memberikan keringanan mendengarkan musik kecuali orang-orang belakangan dalam mazhabnya, mereka yang minim ilmunya dan telah dikuasai oleh hawa nafsunya.”

D.    Al-Hanabilah
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang nyanyian, maka beliau menjawab, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, saya tidak menyukainya.” (Riwayat Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf hal. 142)
Ibnu Al-Jauzi berkata dalam Talbis Iblis hal. 284, “Adapun nyanyian yang ada di zaman ini, maka terlarang di sisi beliau (Imam Ahmad), maka bagaimana lagi jika beliau mengetahui tambahan-tambahan yang dilakukan orang-orang di zaman ini.”
Kami katakan: Itu di zaman Ibnu Al-Jauzi, maka bagaimana lagi jika Ibnu Al-Jauzi dan Imam Ahmad mengetahui bentuk alat musik dan lirik nyanyian di zaman modern seperti ini?!


Kesimpulannya:
Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Imam Empat, mereka telah bersepakat mengharamkan alat-alat musik yang merupakan alat-alat permainan yang tidak berguna.” (Minhaj As-Sunnah: 3/439)
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, “Hendaknya diketahui bahwa jika rebana, penyanyi wanita, dan nyanyian sudah berkumpul maka mendengarnya adalah haram menurut semua imam mazhab dan selain mereka dari para ulama kaum muslimin.” (Ighatsah Al-Luhfan: 1/350)
Al-Albani rahimahullah berkata dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 105 berkata, “Para ulama dan fuqaha -dan di antara mereka ada Imam Empat- telah bersepakat mengharamkan alat-alat musik, guna mengikuti hadits-hadits nabawiah dan atsar-atsar dari para ulama salaf.”


Sumber: http://al-atsariyyah.com/haramnya-nyanyian-dan-alat-musik.html

Selasa, 13 November 2012

Bodoh, adalah Sumber Kehancuran


Oleh Imam Syuhada Al Iskandar
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdu wasy Syukru lillah, Washshalatu was Salam ‘ala Rasulillah, Amma ba’du.
Tiada sikap yang lebih indah dan mulia bagi hamba Allah yang bertauhid, kecuali langkah takwa senantiasa menyertainya dimana pun, kapan pun dan dalam kondisi bagaimana pun. Insya Allah.
Hadirin kaum muslimin yang saya cintai karena Allah,
Tidak ada seorang pun dari kita yang rela disebut “Orang Bodoh”, karena kalimat itu menjadikan seseorang beridentitas rendah dan hina.
Jauh-jauh waktu baginda Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam telah memberikan solusi agar kita terhindar dari kebodohan yaitu denganTholabul ‘Ilmi atau menuntut ilmu, bahkan hal ini diwajibkan bagi setiap insan yang mengaku beragama Islam.
Dalam hadits Anas bin Malik, yang disahihkan oleh Al-Imam Al-Albani, Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda:
“Menuntut ilmu itu wajib dilakukan oleh setiap muslim”.
Jelas, masing-masing kita sebagai pemeluk agama islam, lelaki atau pun perempuan, wajib untuk menuntut dan mempelajari ilmu. Dan sesuatu yang disebut wajib oleh syariat, jika ditinggalkan maka subjeknya akan diazab dan bila dikerjakan maka pelakunya akan diberi pahala.
Tapi pertanyaannya, ilmu manakah yang wajib untuk kita pelajari?
Ilmu apakah yang akan mendatangkan pahala dan balasan baik untuk kita?
Para Ulama Ahlis Sunnah wal Jama’ah dari generasi Sahabat Nabi sampai abad ini sepakat bahwa yang dimaksud dengan ilmu dalam hadits yang mulia ini adalah ilmu agama yakni ilmu syar’i, yaitu segala firman Allah, sabda Rasulullah dan ucapan-ucapan para Sahabat Nabi beserta Ulama-Ulama yang mengikuti pemahaman mereka. Inilah ilmu yang sebenarnya yang wajib dipelajari oleh setiap Muslim dan Muslimah.
Maka, bila seorang Muslim atau Muslimah tidak peduli terhadap ilmu agamanya, bahkan ia bersikap apatis atau acuh terhadapnya, ia terancam dengan dosa, murka dan siksa Allah azza wa jalla.
Keutamaan ilmu syar’i dan para pelajarnya sangat banyak disebutkan dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits.
Ilmu agama yang harus kita pelajari terbagi pada dua sisi;
Yang Pertama, ilmu agar kita bisa mengenal Allah dan beribadah kepada Nya dengan benar.
Yang Kedua, ilmu agar kita tidak salah langkah dalam urusan dunia di keseharian kita.
Siapa saja yang tidak mengindahkan ilmu agama islam, maka dia akan terseret kedalam banyak kejelekan dan kerusakan, di dunia atau pun kelak di akhirat.
Di dunia, berapa banyak orang yang jatuh dalam kekufuran, kasyirikan, perdukunan, ramalan zodiac, hipnotis, pelet, jimat, mantra-mantra, kemurtadan, kebid’ahan, ashabiyyah fanatisme yang tak syar’i , hizbiyyah dan lain sebagainya.
Berapa banyak laki-laki Muslim yang  jatuh dalam dosa dan maksiat, mencukur jenggot, menjulurkan pakaiannya dibawah mata kaki, berpakaian tapi telanjang, lalai salat berjama’ah di masjid, memakan harta riba, berzina, merokok dan lain sebagainya.
Berapa banyak wanita Muslimah yang jatuh dalam kubangan noda dosa, memamerkan aurat, membuka wajah dan telapak tangan, berpacaran, tabarruj dandanan jahiliah, rela dijadikan komoditas, bepergian tanpa mahram, bekerja di tempat yang tak aman dari laki-laki, sembarangan keluar rumah dan lain sebagainya.
Adapun di akhirat, orang-orang yang apatis dan acuh dengan ilmu agama islam, maka akan merasakan kengerian suasana neraka dan dahsyatnya azab Allah yang mana sebelumnya ia merasakan ketidak-nyamanan tinggal di alam barzakh.
Ini semua terjadi disebabkan kebodohan mereka tentang ilmu agama Allah.
Hadirin kaum mukminin yang dirahmati Allah,
Ilmu agama lah yang akan menyelamatkan kita dari segala kejelekan dan kebinasaan. Syekh Solih bin Fauzan Al-Fauzan ~semoga Allah senantiasa menjaganya~ pernah mengatakan:
“Al Fiqhu Fid Diin ‘Ishmatun Minal Fitan.”
“Faham akan ilmu agama adalah tameng pelindung dari segala macam fitnah dan ujian.”
Orang bodoh nan jahil akan sulit menemukan jalan menuju surga, karena Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, Al-Imam Abu Dawud dan yang lainnya,
“Siapa saja yang menempuh satu jalan dalam rangka menuntut ilmu agama, niscaya Allah akan memudahkan untuknya jalan menuju surga karena amalannya itu.”
Orang bodoh nan jahil akan sulit untuk merasa takut kepada Allah, karena Rabbul ‘alamin telah berfirman,
” إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ “
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu.” ~Fathir:28~.
Orang bodoh nan jahil tidak mungkin mendapatkan keutamaan, kebaikan dan manfaat seperti yang didapat oleh orang yang berilmu, karena Allah telah menyatakan,
” هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ “
“Apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tak berilmu???” ~Az-Zumar:9~.
Orang bodoh nan jahil akan terjauh dari berbagai macam kebaikan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam telah menyebutkan,
“Siapa saja yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memahamkannya terhadap urusan agama”.
Tidak ada keberuntungan bagi orang yang bodoh nan jahil, tidak ada keberhasilan bagi orang yang bodoh akan ilmu syar’i, tidak ada kesuksesan bagi orang yang tidak tahu ilmu agama Allah, dan tidak ada laba yang bernilai bagi orang yang tak mengerti tentang ilmu yang diwariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam.
Wahai hamba-hamba Allah yang mulia,
Al Imam Abdullah bin Abbas pernah memberikan nasihat emas kepada kaum muslimin di zamannya, kata beliau,
“Jadilah kalian orang-orang Rabbani, Halim dan Faqih.”
Rabbani adalah orang yang mampu mendidik manusia dari yang asalnya bodoh menjadi berilmu.
Halim adalah orang yang memiliki ketenangan dan kesabaran dalam segala hal.
Faqih adalah orang yang faham, tahu dan mengerti akan ilmu-ilmu Agama Allah.
Sungguh, ini adalah nasihat berharga, sebuah kalimat singkat namun sarat makna, semoga Allah memberikan balasan baik yang berlimpah kepada penyampainya.
Ilmu sangat diperlukan oleh setiap orang sebelum berbicara atau pun berbuat, karena jika suatu ucapan atau amalan tidak dilandasi ilmu, maka kegagalan dan kehancuran lah yang akan muncul.
Al-Imam Al-Bukhari pernah menyebutkan,
Al-Ilmu Qoblal Qoul Wal ‘Amal;
“Harus ada ilmu sebelum berucap dan berbuat.”
Pernyataan indah ini semakna dengan firman Allah,
” فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ “
“Maka berilmulah bahwa laa ilaaha illallah, lalu mintalah ampunan kepada Allah untuk dosamu, untuk kaum Mukminin & Mukminat.” ~Muhammad:19~.
Sangat jelas, Allah terlebih dahulu memerintahkan hambanya untuk berilmu sebelum beristigfar memohon ampunan kepada Nya, dan kita ketahui bahwa istigfar dilakukan dengan ucapan dan perbuatan.
Kaum muslimin yang semoga senantiasa dilindungi Allah,
Seroang muslim yang pandai dan berakal sehat akan selalu sadar bahwa dirinya membutuhkan ilmu dalam segala aspek kehidupan dan aktivitas kesehariannya.
Apalagi, ia tahu bahwa tujuan hidup di dunia fana ini adalah ibadah kepada Allah dengan benar, dan ia pun mengerti bahwa agama islam yang dicintai dan diagungkannya tidak akan pernah terrealisasikan kecuali dengan dua hal yang sangat urgen dan penting, yaitu:
Pertama, tidak boleh ada yang diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah saja.
Kedua, peribadahan kepada Allah akan terwujud dengan benar jika dilakukan sesuai syariat yang telah diatur dan ditetapkan oleh Nya.
Dua hal yang sangat penting ini adalah esensi tauhid, yaitu “asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah”, dan seorang hamba Allah tidak bisa mewujudkan esensi tauhid jika dia bodoh tentang ilmu agama. Hakikat tauhid bisa direalisasikan jika dua poin penting ini terpenuhi yaitu dengan melakukan ibadah yang telah disyariatkan oleh Allah. Dan bagaimana bisa seorang muslim bisa mengerjakan ibadah yang telah disyaritkan oleh Rabbnya dalam keadaan ia tak berilmu???.
Semoga Allah memberikan semangat kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk mau tafaqquh fid diin “Faham akan urusan Agama”, dan semoga Allah menjauhkan kita dari segala bentuk kebodohan yang akan menghinakan kita di dunia atau pun akhirat. Allahumma amin.
Wallahu A’lam walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Sumber : http://imamsyuhada.wordpress.com/2012/10/09/bodoh-adalah-sumber-kehancuran/

Bagaimana Cara Memilih Istri Shalihah?


Masih banyak pemuda-pemudi muslim dan muslimah yang belum tahu bagaimana cara mendapatkan pasangan yang shalih dan shalihah, sehingga tidak jarang mereka menempuh cara yang diharamkan dalam Islam dan mengantarkan mereka kepada perzinahan, baik zina mata, zina tangan, zina hati sampai zina kemaluan, yaitu dengan berpacaran.
Alasan mereka, sebelum menikah, setiap pasangan haruslah saling mengenal satu dengan yang lainnya. Padahal kenyataannya, untuk saling mengenal tidak mesti dengan berpacaran. Bahkan realitanya, mereka yang berpacaran akan berusaha menampakkan yang terbaik di depan pacarnya dan berusaha menyembunyikan kejelekan mereka agar dapat menikahi pasangannya atau membujuk pasangannya agar mau melakukan hal-hal yang hanya layak dilakukan oleh suami istri -wal’iyadzubillah-, sehingga setelah menikah tersingkaplah berbagai macam borok pasangannya. Akhirnya, masa pacarannya bisa lebih lama daripada masa pernikahannya.
Bagaimanakah tuntunan Islam untuk memilih pasangan yang shalih dan shalihah, berikut tanya jawab yang diajukan kepada Syaikhu Syaikhina Samaahatul Mufti Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah
Pertanyaan: Bagaimana cara yang baik dalam memilih istri shalihah?
Jawaban:
[Pertama] Cara mengetahui keshalihan seorang wanita hendaklah bertanya kepada orang yang berilmu dan amanah (yang mengenalnya).
[Kedua] Juga dengan bertanya kepada keluarga wanita tersebut, sampai menjadi jelas bagi pelamar bahwa dia termasuk wanita shalihah.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
« تنكح المرأة لأربع : لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها ، فاظفر بذات الدين تربت يداك »
“Wanita (biasanya) dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka utamakanlah yang baik agamanya, niscaya kamu akan beruntung.”  [HR. Al-Bukhari (5090) dan Muslim (1466)]
Dan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
« الدنيا متاع وخير متاع الدنيا المرأة الصالحة »
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” [HR. Al-Bukhari (1467)]
Dan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
« المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل »
“Seseorang tergantung agama teman dekatnya, maka lihatlah siapa yang kalian jadikan teman dekat.” [HR. Ahmad (2/334) dan Al-Hakim (4/188, no. 7319)]
Dan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
« مثل الجليس الصالح وجليس السوء كحامل المسك ونافخ الكير ، فإن حامل المسك إما أن يحذيك وإما أن تبتاع منه ، وإما أن تجد منه ريحا طيبة ، ونافخ الكير إما أن يحرق ثيابك وإما أن تجد منه ريحا خبيثا »
“Perumpamaan teman duduk yang baik dan yang buruk seperti penjual minyak wangi dan pandai besi, sesungguhnya penjual minyak wangi bisa jadi dia memberikannya kepadamu, ataukah engkau membelinya, ataukah engkau mendapati darinya harum wanginya. Adapun pandai besi, bisa jadi membakar pakaianmu ataukah engkau dapati darinya bau yang jelek.” [HR. Al-Bukhari (5534) dan Muslim (2628)]
Dan hanya Allah Ta’ala yang memberikan taufiq.
[Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah (20/404)]
Artikel terkait: